KORANNEWS,JAKARTA - Lembaga studi advokasi masyarakat ELSAM mendesak Pemerintah menghapuskan penerapan hukuman mati di Tanah Air melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penerapan hukuman mati dinilai sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia.
"Bertolak belakang dengan kecenderungan dunia internasional yang semakin meninggalkan penerapan hukuman mati, Indonesia justru kembali menerapkan praktik kejam yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan ini," kata Direktur Eksekutif ELSAM Indriaswati D. Saptaningrum melalui siaran pers, Sabtu (10/10/2015).
Desakan ini disampaikan ELSAM terkait peringatan Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober. Berdasarkan catatan ELSAM, Pemerintah Indonesia telah mengeksekusi 14 terpidana mati yang terbagi ke dalam dua gelombang eksekusi, yakni enam terpidana mati pada gelombang pertama, dan delapan terpidana mati pada gelombang kedua.
Dalam waktu dekat, Jaksa Agung juga berencana untuk melaksanakan eksekusi gelombang ketiga.
Menurut Indriaswati, situasi ini telah berakibat pada naiknya tren penerapan vonis pidana mati di semua jenjang pengadilan. Kenaikannya hampir tiga kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah penjatuhan vonis sebelum eksekusi pidana mati dilakukan.
Padahal, menurut Indriaswati, efektivitas hukuman mati dalam menciptakan efek jera, khususnya pada kasus narkotika, masih dipertanyakan. Setidaknya hal ini tercermin dari hasil penelitian Badan Narkotika Nasional yang menunjukkan adanya peningkatan angka pengguna narkotika dari 2013 hingga 2015.
"Tahun 2013 BNN mencatat, jumlah pengguna narkotika tercatat 3,3 juta jiwa, kemudian meningkat tajam pada 2015 menjadi 5,1 juta jiwa. Catatan ini semakin memperkukuh hasil-hasil survei yang dilakukan oleh PBB dan Dewan Riset Nasional Amerika Serikat, secara terpisah. Keduanya menegaskan kesimpulan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang dapat mendukung penerapan hukuman mati dapat memberikan efek jera," papar Indriaswati.
Selain itu, ELSAM menilai aspek keadilan belum tentu terpenuhi meskipun terpidana dihukum mati. Indriaswati lantas mencontohkan kasus eksekusi mati terhadap Yusman Telambanua.
Menurut dia, kasus ini menunjukkan adanya pelanggaran hak Yusman atas sistem peradilan yang jujur dan adil. Berdasarkan pengakuan kakak ipar Yusman, Rasulah Hia, yang juga tepidana mati, mereka sempat mengalami praktik penyiksaan agar mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya.
"Hal ini diperparah pula dengan tidak disediakannya kuasa hukum yang layak dan kompeten, pasalnya pada saat itu kuasa hukum Yusman dan Rasulah Hia-lah yang meminta kepada Pengadilan agar kliennya di pidana mati," kata dia.
Di samping itu, kasus ini dinilainya turut mencerminkan masih rentannya sistem peradilan pidana di Indonesia yang masih memungkinkan terbukanya peluang terjadinya kesalahan penghukuman (wrongful conviction) bagi terpidana mati.
Contoh lainnya adalah kasus terpidana mati asal Filipina Mary Jane Fiesta Veloso yang diduga menjadi korban perdagangan manusia. Eksekusi mati Mary Jane ditunda lantaran penyelundup Mary Jane telah menyerahkan dirinya kepada otoritas di Filipina, tepat beberapa saat sebelum Marry Jane dieksekusi.
"Hal ini menunjukkan adanya indikasi telah terjadinya kesalahan penghukuman kepada Marry Jane yang seharusnya diperlakukan sebagai korban trafficking," tutur Indriaswati.
ELSAM juga berpendapat, pemberlakuan pidana mati akan memperlemah posisi tawar Indonesia untuk melakukan advokasi internasional guna membebaskan warga negara Indonesia yang terancam pidana mati di negara lain.
Atas dasar itu, ELSAM juga meminta pemerintah untuk memberlakukan kembali moratorium eksekusi terpidana mati. Pemerintah juga diminta meninjau kembali semua putusan pengadilan yang memberikan vonis pidana mati, mengingat masih tingginya peluang peradilan sesat (miscarriage of justice).
"Juga perlunya merevisi semua peraturan perundang-undangan yang masih memberlakukan sanksi pidana mati," ujar Indriaswati.
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post Comment
0 comments:
Post a Comment