Presiden Jokowi Bongkar Rencana Jahat Jusuf Kalla


Berita Terkini,Korannews - Awalnya, ungkapan itu hanya dimaksudkan sebagai candaan di kalangan para pemuja Presiden Joko Widodo. Namun setelah mencuatnya kasus Papa Minta Saham, fakta bahwa Jokowi tidak bisa dilawan karena koppig (keras kepala) dan nekad, guyonan di atas seperti mendapat pembenaran.

Bahkan Setya Novanto membuat kesimpulan terkait sosok Jokowi dengan kalimat yang kemudian populer: makin dihantam makin kenceng.

Usai gelaran Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Bali semua pihak berharap kisruh di tubuh Partai Golkar yang sudah menahun berakhir dengan damai. Semua pihak diharapkan dapat menerima Setya Novanto sebagai ketua umum yang baru. Para calon ketua umum, terutama Ade Komarudin, juga sudah menyatakan legowo- bahkan menolak digelar putaran kedua, sehingga kecil kemungkinan akan kembali terjadi friksi, apalagi sampai muncul partai sempalan sebagaimana munas-munas Golkar sebelumnya. Dari Seoul, Presiden Jokowi pun sudah mengapresiasi pemilihan itu dan menghormati pilihan kader Golkar.

Namun dari sudut istana wakil presiden, Jusuf Kalla (JK) belum memberikan ucapan selamat kepada Setya Novanto (Setnov). Melalui Husain Abdullah- juru bicaranya, JK hanya mengapresiasi proses pemilihan yang menurutnya bagus.  Padahal saat ini semua warga Golkar tengah menunggu sabdanya.

Diharapkan pernyataan JK menjadi penuntas potensi kekisruhan. Ya, harapan itu muncul karena warga Golkar sempat terbelah akibat persaingan sengit JK yang mendukung Ade Komarudin (Akom) dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang mem-back up Setnov. Persaingan keduanya bahkan diungkap langsung oleh Jokowi saat membuka Munaslub sehingga kemudian muncul berbagai macam spekulasi.

Salah satu spekulasi yang kini mulai terdengar adalah kemungkinan JK akan mundur dari jabatan wakil presiden. JK merasa Jokowi sudah bukan lagi tandemnya. JK merasa Jokowi sudah menggunakan tangan LBP untuk menjegal jagoannya di arena Munaslub. Hal itu sangat menyakitkan bagi JK. Terlebih sebelumnya Jokowi sudah beberapa kali ‘mempermalu’ JK di depan publik.

Pertama saat JK menegur Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi terkait keputusannya membekukan PSSI. JK yang dekat dengan ketua PSSI La Nyalla Mattalitti tidak setuju dengan keputusan Menpora. Namun tidak sampai sehari, Presiden Jokowi langsung meresponnya dengan memberikan dukungan terhadap keputusan Menpora. Alhasil pembekuan itu sempat berjalan setahun sebelum kemudian dicabut yang diikuti dengan pencabutan sanksi dari FIFA.

Kedua, perombakan kabinet. JK merasa tidak nyaman ketika Jokowi mengangkat Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman menggantikan Indroyono Soesilo. Sudah sejak lama Rizal Ramli selalu kritis terhadap sepakterjang JK, terutama terkait dengan bisnisnya. Benar saja. Hanya sehari setelah pelantikan, Rizal Ramli (RR) langsung membuat pernyataan kontroversial yang semuanya menyudutkan JK yakni soal rencana pembelian pesawat Airbus A350 oleh Garuda Indonesia dan proyek pembangkit 35 ribu MW. RR menegaskan akan melakukan evaluasi terhadap dua hal tersebut sehingga mengundang amarah JK. Keduanya lantas terlibat perang opini secara terbuka di media massa.

Ketiga, pembangunan kilang gas Blok Masela  di lepas pantai Arafuru, Maluku. JK setuju dengan kilang terapung (offshore) yang disodorkan Inpex Masela Ltd sebagai perusahaan penemu ladang gas tersebut. JK didukung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan sejumlah ekonom handal. Namun RR punya pandangan lain.
RR kemudian memasukkan proposal pembangunan kilang Blok Masela yang bertentangan dengan JK. RR menghendaki kilang gas Blok Masela dibangun di darat (onshore). Perang opini pun pecah sehingga membuat rakyat kebingungan. Di ujung, Jokowi kembali mempermalu JK karena setuju dengan usulan RR dengan alasan selain menyangkut biaya yang terlalu mahal, jika kilang dibangun di laut (offshore), kurang memberikan manfaat bagi masyarakat Maluku.

Terakhir beda pendapat terkait siapa yang lebih tepat untuk mengendalikan Golkar. JK sudah melakukan berbagai manuver untuk mengambilalih Golkar, termasuk menjadi ketua Tim Transisi, yang kemudian dipatahkan oleh Aburizal Bakrie atas restu Jokowi seperti pernah ditulis di sini

Perjuangan JK pun antiklimaks setelah Setnov yang didukung LBP (baca: Jokowi) sukses mempecundangi Akom yang dijagokan JK di arena Munaslub Golkar.

Mengapa JK ngotot menjagokan Akom, sementara Jokowi memilih Setnov? Hal itu tidak terlepas dari kalkulasi politik Jokowi untuk mengamankan posisinya dan juga persiapan menghadapi pilpres 2019 mendatang. Kedekatan Akom dengan JK dan Agung Laksono, membuat Jokowi tidak nyaman. JK sewaktu-waktu bisa menjadikan kekuatan Golkar di DPR untuk menekan pemerintah.

Ingat, Golkar adalah pemilik kursi terbanyak setelah PDIP sehingga keberadaannya sangat strategis. Jika JK bisa memainkan Golkar untuk kepentingannya, posisi Jokowi sangat rawan karena sejumlah kader PDIP kerap menyuarakan perlawanan. Jokowi tidak berani menyandarkan kekuatannya hanya pada PDIP dan partai pengusung. Bagaimana pun Jokowi ini menjadi the real president- tidak di bawah pengaruh partai pengusung dan juga bayang-bayang JK yang lebih berpengalaman karena pernah menjadi wapres di eras sebelumnya.

Mengendalikan Setnov juga lebih ‘gampang’ daripada Akom. Orientasi politik Setnov tidak sampai ke RI 1 mengingat saat ini usianya sudah 61 tahun. Meski belum termasuk tua untuk menduduki jabatan politik, namun pasti akan kalah bersaing dengan tokoh-tokoh yang lebih muda. Catatan politik Setnov menunjukkan dirinya bukan operator lapangan, meski sempat menjadi ketua umum Bahumas Kosgoro. Bahkan sebelum mencuat kasus Papa Minta Saham, publik nyaris tidak mengenalnya.

Sementara Akom dengan usianya yang masih muda (51 tahun), sangat mungkin akan menjadi lawan Jokowi (54 tahun) di masa mendatang. Akom juga memiliki karir politik yang cemerlang. Merangkak dari bawah, Akom sukses menjadi anggota DPR selama empat periode. Akom juga pernah memegang sejumlah jabatan kunci di organisasi sayap Golkar, termasuk ketua umum Depinas SOKSI.

Kini Jokowi sudah berhasil ‘menjinakkan’ Golkar sehingga bisa mulai mengambil jarak dengan PDIP. Tes pertama Jokowi bisa dilihat dalam gelaran pilkada serentak 2017 mendatang, terutama di Jakarta.

Setnov dengan dukungan LBP, tentu condong mendukung calon petahana Basuki Tjahaya Purnama, sementara PDIP telah ‘bersumpah’ untuk menumbangkan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Sebagai kader PDIP, Jokowi tentu dituntut untuk menunjukkan loyalitasnya. Akankah Jokowi bisa bermain aman?

Akankah JK benar-benar mundur? Ataukah hanya mundur sejenak dari hiruk-pikuk politik? Dalam beberapa bulan ke depan hal itu akan terjawab. Namun alangkah bijak- demi kepentingan bangsa yang lebih luas, bukan sekedar nafsu politik pribadi dan golongannya saja- jika JK tetap berada di belakang Jokowi tanpa perlu melakukan manuver-manuver politik yang berbahaya.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

Post Comment

0 comments: