Kisah Wiranto Cegah "Pengadilan Rakyat" Terhadap Soeharto dan Keluarga
Berita Terkini,Korannews - Angkatan Bersenjata Republik Indonesia akan tetap menjaga kehormatan dan keselamatan para mantan Presiden mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat, termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya.
Itu lah salah satu dari lima poin yang disampaikan Wiranto selaku Menhankam/Panglima ABRI seusai Soeharto mengumumkan berhenti sebagai Presiden, Kamis 21 Mei 1998, tepat 18 tahun lalu.
Rupanya, poin tersebut menimbulkan banyak reaksi masyarakat ketika itu. Wiranto langsung dipojokkan seakan berusaha melindungi korupsi, kolusi, nepotisme dan menghambat proses reformasi.
"Saya tidak pernah menghalangi ditegakkannya hukum, termasuk kepada Pak Harto. Tetapi ABRI jelas tidak mentolelir tindakan anarkis yang melanggar hukum," kata Wiranto dalam bukunya "Bersaksi di Tengah Badai".
Setelah Soeharto lengser keprabon, penjagaan sekitar Jalan Cendana, Jakarta Pusat, kediaman keluarga Soeharto, sangat ketat. Tidak ada satu elemen mahasiswa atau massa yang bisa menembus barikade aparat keamanan.
Ketika itu, hampir setiap hari ada aksi unjuk rasa yang menuntut Soeharto diadili. Mereka berkumpul di sekitar Taman Surapati dan Tugu Tani.
"Bahkan, tidak jarang saya mendengar ada di antaranya yang menuntut dilakukannya pengadilan rakyat atas mantan Presiden Soeharto," kata Wiranto.
Wiranto mengatakan, hak setiap orang untuk berdemonstrasi. Namun, Wiranto meminta aksi itu dilakukan dengan damai.
Wiranto khawatir gerakan demo dapat mengarah kepada tindakan anarkisme dan brutalisme, yang dianggapnya akan menodai reformasi. Ia merasa langkah pengamanan ketat tersebut untuk menyelamatkan Indonesia dari sebutan "bangsa barbar".
"Coba bayangkan, pada waktu itu ribuan massa bergerak ke Cendana untuk melakukan apa yang disebut 'pengadilan rakyat', yakni menghabisi mantan presiden dan keluarganya dengan cara mereka, pasti akan sangat keji dan brutal," kata Wiranto.
Para prajurit ketika itu memblokir jalan-jalan sekitar Cendana. Di tengah situasi itu, Wiranto mendapat informasi dari wartawan asing bahwa akan timbul lagi korban tewas pada saat bentrok dengan aparat di sekitar Cendana. Hal itu untuk membangkitkan amarah massa.
Karena itu, Wiranto meminta Kapolda menggelar barikade kawat berduri untuk mencegah bentrokan langsung.
Berdasarkan pemberitaan Kompas, jalan Cendana masih tertutup untuk umum dan penjagaan masih sangat ketat sampai November 1998.
Para petugas keamanan itu berjaga-jaga di lima titik ujung (persimpangan) jalan yang langsung mengarah ke Jl Cendana. Kelima titik itu adalah Jl Tanjung, Jl Yusuf Adiwinata, Jl Kamboja, Jl Rasamala, Jl Suwiryo.
Para petugas yang berjaga-jaga berasal dari Brigade Infantri 1 Pengamanan Ibu Kota/ Jaya Sakti (Brigif-1 PIK/JS) Kodam Jaya, dan satuan perintis Polda Metro Jaya.
Pada Kamis, 19 November 1998, sekitar 8.000 mahasiswa sempat bergerak menuju kediaman Soeharto. Namun, mereka gagal mencapai Jalan Cendana karena ketatnya blokade.
Dalam bukunya, Wiranto membantah jika penjagaan tersebut atas instruksi Cendana kepada ABRI. Wiranto mengatakan, semenjak Soeharto berhenti sebagai Presiden, maka tidak ada lagi hubungan struktural antara ABRI dengan Soeharto.
"Dengan demikian, pasti beliau tidak akan mau memberi perintah kepada saya selaku pejabat negara," kata Wiranto.
"Saat itu, saya sungguh khawatir karena kemarahan dan dendam yang demikian mendalam, membuat kita lupa untuk menjaga martabat bangsa kita yang dikenal berbudaya, memiliki toleransi, dan sangat kental dengan sikap religius," ujar Wiranto.
Hingga kini, selalu muncul pertanyaan di benak Wiranto, bagaimana jika Soeharto ketika itu tidak dijaga dan kemudian terjadi hukum rimba atau pengadilan rakyat.
"Bagaimana martabat bangsa Indonesia di mata dunia? Apakah dengan cara seperti itu lantas semua tuntutan dan keinginan dari semua pihak sudah terpuaskan?" kata Wiranto.
Post Comment
0 comments:
Post a Comment